MAKALAH
PENDIDIKAN PACASILA
Pancasila
dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa
Masa
Orde Baru dan Era Reformasi
Kelompok 2
3. Iklima (A1C315025)
4. Lika Anggraini (A1C315013)
5. Rila Pratiwi Saskia Winada (A1C315028)
6. Syukri Kurniawan (A1C315036)
Dosen pembimbing : Maryatun
Kabatiah, M.Pd
NIP : 201501501052006
T.A 2015/2016
Pend. Fisika reguler
Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan
Universitas jambi
Kata
Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah Subhanahu wata’ala, karena berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan
makalah yang berjudul “Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa
Indonesia Masa Orde Baru dan era Reformasi”. Makalah ini diajukan guna memenuhi
tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila.
Kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya
makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan
informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Di setiap
masa, pancasila mengalami perkembangan terutama dalam mengartikan Pancasila itu
sendiri. Pada masa orde baru, yaitu kepemimpinan Presiden Soeharto,
Pancasila dijadikan sebagai indoktrinasi. Pancasila dijadikan oleh Soeharto
sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya. Ada beberapa metode yang
digunakan dalam indoktrinasi Pancasila, yaitu pertama, melalui ajaran P4 yang
dilakukan di sekolah-sekolah, melalui pembekalan atau seminar. Kedua,
asas tunggal, yaitu Soeharto membolehkan rakyat untuk membentuk organisasi
tetapi harus berasaskan Pancasila yang merupakan Pancasila versi Soeharto.
Ketiga, stabilisasi yaitu Soeharto melarang adanya kritikan yang dapat
menjatuhkan pemerintah. Jadi Soeharto beranggapan bahwa kritik terhadap
pemerintah menyebabkan ketidakstabilan di dalam negara. Dalam
menstabilkannya, Soeharto menggunakan kekuatan militer sehingga tidak ada yang
berani untuk mengkritik pemerintah. Maka muncul penentang-penentang terhadap
Pancasila, yaitu mereka lebih ke gerakan bawah tanah. Dan penentangnya hampir
sama dengan penentang di masa orde lama. Salah satunya kelompok komunis.
Soeharto
dalam menjalankan Pancasila melakukan beberapa penyelewengan, yaitu Soeharto
menerapkan demokrasi sentralistik, demokrasi yang berpusat di tangan
pemerintah. Selain itu, Soeharto memegang kendali terhadap lembaga legislatif,
eksekutif dan yudikatif sehingga peraturan yang dibuat harus sesuai dengan
persetujuan Soeharto. Dan juga Soeharto melemahkan aspek-aspek demokrasi
terutama pers karena dapat membahayakan kekuasaan Soeharto. Maka Soeharo
membentuk Departemen penerangan atau lembaga sensor secara besar-besaran agar
setiap berita yang dimuat di media tidak menjatuhkan pemerintah. Penyelewengan
yang lain adalah Soeharto melanggengkan korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga
pada masa ini banyak pejabat negara yang melakukan korupsi dan juga pada masa
ini negara Indonesia mengalami krisis moneter.
Sedangkan
pada masa reformasi, Pancasila sebagai re-interprestasi, yaitu Pancasila harus
selalu di interprestasikan kembali sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam
menginterprestasikannya harus relevan dan kontekstual. Berarti harus sinkron
atau sesuai dengan kenyataan atau zaman pada saat itu.
Keluar dari gedung KPK dengan
melambaikan tangan serta tersenyum, seperti artis yang baru terkenal. Ini merupakan
masalah yang benar-benar harus diselesaikan. Selain KKN, globalisasi menjadi
racun bagi bangsa Indonesia karena semakin lama ideologi Pancasila tergerus
dengan ideologi liberal dan kapitalis. Ditambah lagi tantangan pada masa ini
bersifat terbuka, lebih bebas dan nyata. Oleh sebab itu, kita harus
melaksanakan Pancasila sesuai dengan nilai-nilai dikandungnya, serta
mengembangkan toleransi dan plurralisme di dalam diri kita
masing-masing. Oleh karena itu, makalah ini dimaksudkan untuk memberikan
pengetahuan tentang sejarah dan perkembangan pancasila pada masa orde baru dan
reformasi
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian pancasila?
2.
Bagaimanakah perkembangan pancasila pada masa
orde baru?
3.
Bagaimanakah perkembangan pancasila pada era
reformasi?
1.3. TUJUAN
1.
Untuk mengetahui apa itu pancasila
2.
Untuk mengetahui perkembagan pancasila pada masa
orde baru
3.
Untuk mengetahui perkembagan pancasila pada era
reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
PENGERTIAN PANCASILA
Istilah “Pancasila” telah dikenal di Indonesia
sejak zaman majapahit abad XIV, yaitu.terdapat pada buku Negara Kertagama
karangan Empu Prapanca dan dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular. Tetapi
baru dikenal oleh bangsa Indonesia sejak tanggal 1 Juni 1945, yaitu pada waktu
Ir. Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara dalam sidang Badan
Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Kedudukan dan fungsi Pancasila bilamana dikaji secara ilmiah memiliki
pengertian pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar Negara,
sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai ideologi bangsa dan Negara, sabagai
kepribadian bangsa bahkan dalam proses terjadinya terdapat berbagai macam
terminologi yang harus didesktipsikan secara objektif. Selain itu, pancasila
secara kedudukan dan fungsinya juga harus dipahami secara kronologis. Oleh
karena itu, untuk memahami Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusannya
maupun peristilahannya.
2.1.1. PENGERTIAN PANCASILA SECARA ETIMOLOGIS
Secara etimologis istilah “Pancasila” berasal dari Sansekerta dari
India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa
Prakerta. Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta perkataan “Pancasila”
memilki dua macam arti secara leksikal yaitu:
“panca” artinya “lima”
“syila” vokal I pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”
“syiila” vokal i pendek artinya “peraturan tingkah laku yang baik,
yang penting atau yang senonoh”
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa
Jawa diartikan “susila “ yang memilki hubungan dengan moralitas. Oleh karena
itu secara etimologis kata “Pancasila” yang dimaksudkan adalah adalah istilah
“Panca Syilla” dengan vokal i pendek yang memilki makna leksikal “berbatu sendi
lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah
“Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah laku yang
penting.
2.1.2. PENGERTIAN PANCASILA SECARA HISTORIS
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI
pertama dr. Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas
pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar
negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut
tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam siding tersebut Ir. Soekarno
berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara
Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar,
hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang
ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian
keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945
termasuk Pembukaan UUD 1945 di mana didalamnya termuat isi rumusan lima prinsip
atau lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila.
Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan
merupakan istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak
termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik
Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas
interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar
negara, yang secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.
2.1.3. PENGERTIAN PANCASILA SECARA TERMINOLOGIS
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah
melahirkan negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan
negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka panitia Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam
sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara
Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri atas dua
bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal,
1 aturan Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan
terdiri atas 2 ayat.
Dalam bagian pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea tersebut
tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
inilah yang secara konstisional sah dan benar sebagai dasar negara Republik
Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat Indonesia.
2.2. PANCASILA PADA
MASA ORDE BARU
Pemusatan
dan sektor utamaMiliter (dwi fungsi ABRI) Partai GOLKAR sebagai Jumlah bantuan
dana dari (pertahanan dan partai berkuasa (budaya) luar negeri (ekonomi)
keamanan) Sentralisasi kekuasaan pada Kebijakan pembangunan pad lembaga
kepresidenan sektor ekonomi dan stabilitas politik Kekuasaan eksekutif sangat
dominan, dengan Pembangunan tidak merata d menunjuk utusan golongan dan
masyarakat terpusat di jawa, (70% PAD h separuh dari 1000 anggota MPR disetor
ke pusat)
2.2.1. PENGUATAN NEGARA MASA ORDE BARU
Peristiwa
Malapetaka Januari Aksi demonstrasi mahasiswa terhadap arus investasi produk2
Jepang ke Indonesia dan mematikan sektor ekonomi lokal Dibatasinya kebebasan
Berlakunya Normalisasi berorganisasi dan menyatakan Kehidupan Kampus dan Badan
pendapat Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BK) Dibredelnya harian tempo pada tahun
1982 dan dibredelnya harian Pengekangan pers dan media tempo, detik dan editor
pada tahun massa 1994 Warga tionghoa dilarang merayakan imlek, pelarangan Warga
keturunan dianggap bahasa mandarin dan kesenian sebagai warga negara asing
barongsai di larang dipertunjukkan.
2.2.2. PANCASILA DI MASA ORDE BARU
Orde baru
muncul dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan
sebelumnya yang telah menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan
kekuasaan. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda
dengan apa yang terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada
posisinya sebagai alat pembenar rezim otoritarian baru di bawah Soeharto.
Seperti
rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru
sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara.Sehingga
Pancasila oleh rezim orde baru kemudian ditafsirkan sedemikian rupa sehingga
membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Maka dari itu Pancasila
perlu disosialisasikan sebagai doktrin komprehensif dalam diri masyarakat
Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala tindakan pemerintah yang
berkuasa.dalam diri masyarakat Indonesia. Adapun dalam pelaksanaannya
upaya indroktinisasi tersebut dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari
pengkultusan Pancasila sampai dengan Penataran P4.
Upaya
pengkultusan terhadap pancasila dilakukan pemerintah orde baru guna memperoleh
kontrol sepenuhnya atas Pancasila dan UUD 1945.Pemerintah orde baru menempatkan
Pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak boleh
diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka,
serta UUD 1945 sebagai landasan konstitusi berada di tangan negara.Pengkultusan
Pancasila juga tercermin dari penetapan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal
1 Oktober sebagai peringatan atas kegagalan G 30 S/PKI dalam upayanya
menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis.
Pada
tahun 1985 seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima
Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap
warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang
menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau
penghasut.Dengan demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli
kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat
yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya diperlakukan
sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif.
1. Sosialisasi
Penataran P4 (TAP MPR No. II/MPR/1978) di sekolah-sekolah dan masyarakat dengan
tujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga
mampu menegaskan opini masyarakat terhadap kepemimpinan orde baru.
Tujuan lain dari penataran P4 antara lain adalah
membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan
pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk
dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan
mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Akan tetapi kecenderungan orde baru dalam
memandang Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif terlihat pada anggapan
bahwa ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena itu harus ditangani
(melalui upaya indoktrinasi) secara terpusat. Pada akhirnya, pandangan tersebut
bermuara pada keadaan yang disebut dengan perfeksionisme negara.
Negara perfeksionis adalah negara yang merasa tahu apa yang benar dan apa yang
salah bagi masyarakatnya, dan kemudian melakukan usaha-usaha sistematis agar
‘kebenaran’ yang dipahami negara itu dapat diberlakukan dalam masyarakatnya.
Sehingga formulasi kebenaran yang kemudian muncul adalah sesuatu dianggap benar
kalau hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu
dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendak penguasa.
2. Doktrinisasi
melalui upaya indoktrinisasi yang dilakukan secara uniform (seragam) kepada
semua lapisan masyarakat, mahasiwa dan lembaga-lembaga pemerintahan tanpa
disertai dengan keteladanan para pemimpin tentang nilai-nilai pancasila.
3. Pada masa
Orde Lama Pancasila dimanipulasi menjadi kekuatan politik dalam bentuk
bersatunya tiga kekuatan yang bersumber dari tiga aliran yaitu nasionalisme,
agama dan komunis; sedangkan pada masa Orde Baru Pancasila disalahgunakan
sebagai ideologi penguasa untuk memasung pluralisme dan mengekang kebebasan
berpendapat masyarakat dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.4.
Pancasila sebagai alat dan instrumen kekuasaan dengan mengekang kehidupan
bermasyarakat.5. Tidak semua nilai-nilai pancasila pada masa orde baru negatif,
adalah hal yang bijak untuk menempatkan Pancasila secara dinamis
2.3. PANCASILA PADA
ERA REFORMASI
Makna
serta pengertian reformasi dewasa ini banyak disalah artikan sehingga gerakan
masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga
tidak sesuai dengan pengertian reformasi itu sendiri. Hal tersebut terbukti
dengan maraknya gerakan masyarakat dengan mengatasnamakan gerakan reformasi,
melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan makna reformasi itu sendiri,
misalnya pemaksaan kehendak dengan menduduki kantor suatu instansi atau lembaga
(baik negeri maupun swasta), memaksa untuk mengganti pejabat dalam suatu
instansi, melakukan perusakan, bahkan yang paling memprihatinkan adalah
melakukan pengerahan massa dengan merusak dan membakar toko-toko, pusat-pusat
kegiatan ekonimi, kantor instansi pemerintah, fasilitas umum, kantor pos,
kantor bank disertai dengan penjarahan dan penganiayaan. Oleh karena itu, makna
reformasi itu harus benar-benar diletakkan dalam pengertian yang sebenarnya
sehingga agenda reformasi itu benar-benar sesuai tujuannya.
Makna reformasi
secara etimologis berasal dari kata reformation dengan akar kata reform yang
secara semantik bermakna “make or become
better by removing or putting right what is bad or wrong (Oxford Advanced
Learner’s Dictionary of Current English”, 1980, dalam Wibisono, 1998:
Secara harfiah reformasi memiliki makna: suatu gerakan untuk memformat ulang,
menata ulang, atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan
pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang
dicita-citakan rakyat. Gerakan reformasi di lakukan dengan syarat – syarat,
sebagai berikut :
1. Suatu
gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Masa
pemerintahan Orde Baru banyak terjadi penyimpangan, misalnya asas kekeluargaan
menjadi nepotisme, kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan
semangat Pembukaan UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.
2. Suatu
gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas atau
landasan ideologis tertentu (dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa
dan negara Indonesia). landasan ideologis yang jelas, maka gerakan reformasi
akan mengarah pada anarkisme, disintegrasi bangsa, dan akhirnya jatuh pada
suatu kehancuran bangsa
dan negara Indonesia,
sebagaimana yang terjadi di Uni Sovyet dan Yugoslavia.
3. Suatu
gerakana reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu kerangka structural
tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi. Reformasi pada
prinsipnya merupakan gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan
pada suatu tatanan struktural yang ada karena adanya suatu penyimpangan.
2.3.1. PERAN PANCASILA DI ERA REFORMASI
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai
dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga
negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi
dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apalagi manakala dikaji
perkembangannya secara konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi yang
tidak kondusif sehingga kridibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik
dalam wacana politis maupun akademis.
2.3.1.1.PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KETATANEGARAAN
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka
berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia
sebagai landasa kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti, bahwa setiap
gerak langkah bangsa dan negara Indonesia harus selalu dilandasi oleh sila-sila
yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai negara hukum setiap perbuatan, baik dari
warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus
berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya
dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum
yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila
Pancasila. Sekurang-kurangnya, substansi produk hukumnya tidak bertentangan
dengan sila-sila Pancasila.
2.3.1.2.PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG SOSIAL POLITIK
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung
arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di
implementasikan sebagai berikut :
a.
Penerapan dan pelaksanaan keadilan
sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan
sehari-hari.
b.
Mementingkan kepentingan rakyat /
demokrasi dalam pemgambilan keputusan.
c.
Melaksanakan keadilan sosial dan
penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
d.
Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan
keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan berada.
e.
Tidak dapat tidak, nilai-nilai keadilan,
kejujuran (yang menghasilkan) dan toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan
Yang Maha Esa.
2.3.1.3.PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG EKONOMI
Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung pengertian
bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam
kehidupan nyata.
2.3.1.4.PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG KEBUDAYAAN
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan
mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana
pembangunan kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat
majemuk. Oleh karena itu smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945
yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi prioritas,
karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang
memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa
persatuan.
2.3.1.5.PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG HANKAM
Dengan berakhirnya peran sosial politik, maka paradigma baru TNI terus
diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial
politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian
dari sistem nasional.
2.3.1.6.PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN
Dengan memasukai kawasan filsafat ilmu (philosophy of science) ilmu
pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila sebagai paradigmanya perlu
difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis,
epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu pengetahuan
aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari
dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang secara
utuh, dalam dimensinya sebagai masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk.
Sebagai masyarakat menunjukan adanya suatu academic community yang akan dalam
hidup kesehariannya para warganya mempunyai concerm untuk terus menerus
menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sebagai proses menggambarkan suatu
aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi, spekulasi, imajinasi,
refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi mencari dan
menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil yang diperoleh
melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta aplikasinya yang
berwujud fisik ataupun non fisik.
Epistimologi, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung
didalamnya dijadikan metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah
didalam pengembangan ilmu pengetahuan ; yang parameter kebenaran serta
kemanfaatan hasil-hasil yang dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila itu sendiri. Aksilogi yaitu bahwa dengan menggunakan
epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan dan efek pengemabgnan ilmu
pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan Pancasila dan secara
positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila. Lebih dari itu,
dengan penggunaan Pancasila sebagai paradigma, merupakan keharusan bahwa
Pancasila harus dipahami secara benar, karena pada gilirannya nilai-nilai
Pancasila kita jadikan asumsi-asumsi dasar bagi pemahaman di bidang otologis,
epistemologis, dan aksiologisnya.
2.3.2. Penerapan Pancasila di Era Reformasi
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai
dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga
negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi
dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apalagi manakala dikaji
perkembangannya secara konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi yang
tidak kondusif sehingga kridibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik
dalam wacana politis maupun akademis.Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara
(oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai
dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001)
memberikan tahapan perkembangan Pancasila sebagai dasar negara dalam tiga tahap
yaitu :
1. Tahap 1945 – 1968 sebagai tahap politis
Dimana orientasi pengembangan Pancasila diarahkan kepada Nation and
Character Building. Hal ini sebagai perwujudan keinginan bangsa Indonesia untuk
survival dari berbagai tantangan yang muncul baik dalam maupun luar negeri,
sehingga atmosfir politik sebagai panglima sangat dominan. Disisi lain pada
masa ini muncul gerakan pengkajian ilmiah terhadap Pancasila sebagai Dasar
Negara misalnya oleh Notonagoro dan Driarkara. Kedua ilmuwan tersebut
menyatakan bahwa Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandang dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan bahkan Pancasila merupakan suatu paham atau
aliran filsafat Indonesia, dan ditegaskan bahwa Pancasila merupakan rumusan
ilmiah filsafati tentang manusia dan realitas, sehingga Pancasila tidak lagi
dijadikan alternatif melainkan menjadi suatu imperatif dan suatu philosophical
concensus dengan komitmen transenden sebagai tali pengikat kesatuan dan
persatuan dalam menyongsong kehidupan masa depan bangsa yang Bhinneka Tunggal
Ika. Bahkan Notonagoro menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan
staatfundamental Norm yang tidak dapat diubah secara hukum oleh siapapun.
Sebagai akibat dari keberhasilan mengatasi berbagai tantangan baik dari dalam
maupun dari luar negeri, masa ini ditandai oleh kebijakan nasional yaitu
menempatkan Pancasila sebagai asas tunggal.
3.
Tahap 1969 – 1994 sebagai tahap
pembangunan ekonomi
Yaitu upaya mengisi kemerdekaan melalui program-program ekonomi. Orientasi
pengembangan Pancasila diarahkan pada bidang ekonomi, akibatnya cenderung
menjadikan ekonomi sebagai ideologi. Pada tahap ini pembangunan ekonomi
menunjukkan keberhasilan secara spektakuler, walaupun bersamaan dengan itu
muncul gejala ketidakmerataan dalam pembagian hasil pembangunan. Kesenjangan
sosial merupakan fenomena yang dilematis dengan program penataran P4 yang
selama itu dilaksanakan oleh pemerintah. keadaan ini semakin memprihatinkan
setelah terjadinya gejala KKN dan Kroniisme yang nyata-nyata bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Bersamaan dengan itu perkembangan
perpolitikan dunia, setelah hancurnya negara-negara komunis, lahirnya tiga
raksasa kapitalisme dunia yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Oleh karena
itu Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya dihantui oleh supersifnya
komunisme melainkan juga harus berhadapan dengan gelombang aneksasinya
kapitalisme, disamping menhadapi tantangan baru yaitu KKN dan kroniisme.
4.
Tahap 1995 – 2020 sebagai tahap
repositioning Pancasila.
Karena dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat,
mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh
penjuru dunia, khususnya di adab XXI sekarang ini, bersamaan arus reformasi
yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak semua
segi kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa orgensinya untuk menjadi
Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka mempertahankan jatidiri bangsa
dan persatuan dan kesatuan nasional, lebih-lebih kehidupan perpolitikan
nasional yang tidak menentu di era reformasi ini. Berdasarkan hal tersebut
diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar
negara yang mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya
dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat
padanya.
Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan sebagai
ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, suatu
rangkaian nilai-nilai yang bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”.
Idealitasnya bahwa idelisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi
tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk
membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari
depan secara prospektif menuju hari esok yang lebih baik.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai
dan mendeg dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi
tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang,
dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap
aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan
bangsa dan negara dengan jiwa semangat Bhinneka Tunggal Ika. Reposisi Pancasila
sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan dan pengembangan moral,
sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah untuk mengatasi
krisis dan disintegrasi. Moralitas Pancasila harus disertai penegakkan
(supremasi) hukum.
Penahapan ini memang tampak berbeda lazimnya para pakar hukum ketatanegaraan
melakukan penahapan perkembangan Pancasila Dasar Negara yaitu :
1. 1945 – 1949 masa Undang-Undang Dasar 1945 yang
pertama
2.
1949 – 1950 masa konstitusi RIS
3.
1950 – 1959 masa UUDS 1950
4.
1959 – 1965 masa orde lama
5.
1966 – 1998 masa orde baru dan
6.
1998 – sekarang masa reformasi
Hal ini patut dipahami, karena adanya perbedaan pendekatan, yaitu dari segi
politik dan dari segi hukum.
Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan
menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit
politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi
nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang
sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya sudah
umum kita ketahui, karena rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila
sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa
ini, Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap
menjadi dasar dari penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti
globalisasi yang selalu mendikte, krisis ekonomi yang belum terlihat
penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi disintegrasi, dan
segregasi sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya, yang
diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih
konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Di era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut “terdeskreditkan” sebagai
bagian dari pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik
Pancasila pernah dipakai sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara
Orde Baru dengan segala sepak terjangnya. Sungguh suatu ironi sampai muncul
kesan di masa lalu bahwa mengkritik pemerintahan Orde Baru dianggap “anti
Pancasila“.
Jadi sulit untuk dielakkan jika ekarang ini muncul pendeskreditan atas
Pancasila. Pancasila ikut disalahkan dan menjadi sebab kehancuran. Orang gamang
untuk berbicara Pancasila dan merasa tidak perlu untuk membicarakannya. Bahkan
bisa jadi orang yang berbicara Pancasila dianggap ingin kembali ke masa lalu.
Anak muda menampakkan kealpaan bahkan phobia-nya apabila berhubungan dengan
Pancasila. Salah satunya ditunjukkan dari pernyataan Ketua Umum Gerakan
Mahasiswa dan Pemuda Indonesia M Danial Nafis pada penutupan Kongres I GMPI di
Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin, 3 Maret 2008 bahwa kaum muda yang
diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan Pancasila.
Pernyataan ini didasarkan pada hasil survey yang dilakukan oleh aktivis gerakan
nasionalis tersebut pada 2006 bahwa sebanyak 80 persen mahasiswa memilih
syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5 persen
responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup
dan hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak
sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan diri untuk
“malu-malu” terhadap Pancasila. Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan
ataupun berbagai pernyataan dari pejabat negara, mereka tidak pernah lagi
mengikutkan kata-kata Pancasila. Hal ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru
yang hampir setiap pernyataan pejabatnya menyertakan kata – kata Pancasila
Menarik sekali pertanyaan yang dikemukakan Peter Lewuk yaitu apakah Rezim
Reformasi ini masih memiliki konsistensi dan komitmen terhadap Pancasila?
Dinyatakan bahwa Rezim Reformasi tampaknya ogah dan alergi bicara tentang
Pancasila. Mungkin Rezim Reformasi mempunyai cara sendiri mempraktikkan
Pancasila. Rezim ini tidak ingin dinilai melakukan indoktrinasi Pancasila dan
tidak ingin menjadi seperti dua rezim sebelumnya yang menjadikan Pancasila
sebagai ideologi kekuasaan. untuk melegitimasikan kelanggengan otoritarianisme
Orde Lama dan otoritarianisme Orde Baru Saat ini orang mulai sedikit- demi
sedikit membicarakan kembali Pancasila dan menjadikannya sebagai wacana publik.
Beberapa istilah baru diperkenalkan untuk melihat kembali Pancasila.
Kuntowijoyo memberikan pemahaman baru yang dinamakan radikalisasi Pancasila.
Sesungguhnya jika dikatakan bahwa rezim sekarang alergi terhadap Pancasila
tidak sepenuhnya benar. Pernyataan tegas dari negara mengenai Pancasila menurut
penulis dewasa ini adalah dikeluarkannya ketetapan MPR No XVIII/ MPR /1998
tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No II / MPR / 1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan
tentang Penegasan Pancasila sebagai dasar Negara. Pada pasal 1 Ketetapan
tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang
Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Dokumen
kenegaraan lainnya adalah Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Salah satu kutipan dari
dokumen tersebut menyatakan bahwa dalam rangka Strategi Penataan Kembali
Indonesia, bangsa Indonesia ke depan perlu secara bersama-sama memastikan
Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 tidak lagi diperdebatkan.
Untuk memperkuat pernyataan ini, Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada salah satu bagian pidatonya yang bertajuk "Menata Kembali Kerangka
Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila" dalam rangka 61 tahun hari
lahir Pancasila meminta semua pihak untuk menghentikan perdebatan tentang
Pancasila sebagai dasar negara, karena berdasarkan Tap MPR No XVIII /MPR/1998,
telah menetapkan secara prinsip Pancasila sebagai dasar negara.
Berdasar uraian di atas menunjukkan bahwa di era reformasi ini elemen
masyarakat bangsa tetap menginginkan Pancasila meskipun dalam pemaknaan yang
berbeda dari orde sebelumnya. Demikian pula negara atau rezim yang berkuasa
tetap menempatkan Pancasila dalam bangunan negara Indonesia. Selanjutnya juga
keinginan menjalankan Pancasila ini dalam praktek kehidupan bernegara atau
lazim dinyatakan dengan istilah melaksanakan Pancasila. Justru dengan demikian
memunculkan masalah yang menarik yaitu bagaimana melaksanakan Pancasila itu dalam
kehidupan bernegara ini.
Pelaksanaan Pancasila di Era Reformasi. Terlepas dari kenyataan yang ada,
gerakan reformasi sebagai upaya memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia ini
harus dibayar mahal, terutama yang berkaitan dengan dampak politik, ekonomi,
sosial, dan terutama kemanusiaan. Para elite politik cenderung hanya
memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih kekuasaan sehingga tidak
mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan kepentingan politik. Berbagai
gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan yang sangat
memilukan. Banyaknya korban jiwa dari anak-anak bangsa dan rakyat kecil yang
tidak berdosa merupakan dampak dari benturan kepentingan politik. Tragedi “amuk
masa” di Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Irian Jaya, serta daerah-daerah lainnya merupakan bukti mahalnya sebuah
perubahan. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, nampak sekali bahwa bangsa
Indonesia sudah berada di ambang krisis degradasi moral dan ancaman
disintegrasi.
Kondisi sosial politik ini diperburuk oleh kondisi ekonomi yang tidak
berpihak kepada kepentingan rakyat. Sektor riil sudah tidak berdaya sebagaimana
dapat dilihat dari banyaknya perusahaan maupun perbankan yang gulung tikar dan
dengan sendirinya akan diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah
pengangguran yang tinggi terus bertambah seiring dengan PHK sejumlah tenaga
kerja potensial. Masyarakat kecil benar-benar menjerit karena tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini diperparah dengan naiknya
harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, serta harga bahan kebutuhan pokok
lainnya. Upaya pemerintah untuk mengurangi beban masyarakat dengan menyediakan
dana sosial belum dapat dikatakan efektif karena masih banyak terjadi
penyimpangan dalam proses penyalurannya. Ironisnya kalangan elite politik dan
pelaku politik seakan tidak peduli den bergaming akan jeritan kemanusiaan tersebut.
Di balik keterpurukan tersebut, bangsa Indonesia masih memiliki suatu keyakinan
bahwa krisis multidimensional itu dapat ditangani sehingga kehidupan masyarakat
akan menjadi lebih baik. Apakah yang dasar keyakinan tersebut? Ada beberapa
kenyataan yang dapat menjadi landasan bagi bangsa Indonesia dalam memperbaiki kehidupannya,
seperti:
1). adanya nilai-nilai luhur yang berakar pada pandangan hidup bangsa
Indonesia.
2). adanya kekayaan yang belum dikelola secara optimal
3). adanya kemauan politik untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN).
Maka
reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem nehara demokrasi bahwa
kedaulatan adalah di tangan rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat
(2). Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem
negara hukum dalam arti yang sebenarnya sebagaimana terkandung dalam penjelasan
UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang
bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum.Oleh karena itu,
reformasi sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas.Selain itu,
reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparansi dalam
setiap kebijaksanaan dalam setiap kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara
karena hal tersebut merupakan manifestasi bahwa rakyatlah sebagai asal mula
kekuasaan negara dan untuk rakyatlah segala aspek kegiatan negara.
Reformasi
dilakukan ke arah suatu perubahan ke arah kondisi serta keadaan yang lebih
baik, perubahan yang dilakukan dalam reformasi harus mengarah pada suatu
kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspeknya, antara lain di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan beragama. Dengan kata
lain, reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan martabat rakyat
Indonesia sebagai manusia.
Reformasi
dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia yang Berketuhanan
Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam
perjalanan sejarah Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia, nampaknya tidak diletakkan dalam kedudukan
dan fungsi yang sebenarnya. Pada masa Orde Lama, terjadi pelaksanaan negara
yang secara jelas menyimpang bahkan bertentangan, misalnya Manipol Usdek dan
Nasakom yang bertentangan dengan Pancasila, pengangkatan Presiden seumur hidup,
serta praktek-praktek kekuasaan diktator. Pada masa Orde Baru, Pancasila
digunakan sebagai alat legitimasi politik oleh penguasa, sehingga kedudukan
Pancasila sebagai sumber nilai dikaburkan dengan praktek kebijaksanaan
pelaksana penguasa negara.Misalnya, setiap kebijaksanaan penguasa negara
senantiasa berlindung di balik ideologi Pancasila, sehingga mengakibatkan
setiap warga negara yang tidak mendukung kebijaksanaan tersebut dianggap bertentangan
dengan Pancasila.Asas kekeluargaan sebagaimana terkandung dalam nilai Pancasila
disalahgunakan menjadi praktek nepotisme sehingga merajalela kolusi dan
korupsi. Oleh karena itu, gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam
perspektif Pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideologi (Hamengkubuwono X,
1998: 8). Sebab, tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas, suatu reformasi
akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme, brutalisme, serta pada
akhirnya menuju pada kehancuran bengsa dan negara Indonesia. Pada hakikatnya,
reformasi dalam perspektif Pancasila harus berdasarkan pada
nilai-nilai:Ketuhanan Yang Maha Esa.
Reformasi
yang Berketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa suatu gerakan ke arah perubahan
harus mengarah pada suatu kondisi yang lebih baik bagi kehidupan manusia
sebagai makhluk Tuhan.
1. Manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa pada hakikatnya adalah sebagai makhluk yang
sempurna yang berakal budi, sehingga senantiasa bersifat dinamis yang selalu
melakukan suatu perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik.Oleh karena itu,
reformasi harus berlandaskan moral religius dan hasil reformasi harus
meningkatkan kehidupan keagamaan.Reformasi yang dijiwai nilai-nilai religius
tidak membenarkan pengrusakan, penganiayaan, merugikan orang lain, serta
bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab. Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab
berarti bahwa reformasi harus dilakukan dengan dasar-dasar nilai martabat
manusia yang beradab. Oleh karena itu, reformasi harus dilandasi oleh moral
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bahkan reformasi mentargetkan
ke arah penataan kembali suatu kehidupan negara yang menghargai hakrkat dan
martabat manusia yang secara jelas menghargai hak-hak asasi manusia. Reformasi
menentang segala praktek eksploitasi, penindasan oleh manusia terhadap manusia
lain atau oleh suatu golongan terhadap golongan lain, bahkan oleh penguasa
terhadap rakyatnya. Untuk bangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia,
semangat reformasi yang berdasar pada kemanusiaan menentang praktek-praktek
yang mengarah pada diskriminasi dan dominasi sosial, baik alasan perbedaan
suku, ras, asal-usul, maupun agama.Reformasi yang dijiwai nilai-nilai
kemanusiaan tidak membenarkan perilaku yang biadab, seperti membakar,
menganiaya, menjarah, memperkosa, dan bentuk-bentuk kebrutalan lainnya yang
mengarah pada praktek anarkisme.Reformasi yang berkemanusiaan pun harus
memberantas sampai tuntas masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang
telah sedemikian menakar pada kehidupan kenegaraan pemerintahan Orde Baru.
3. Persatuan
Indonesia. Semangat reformasi harus berdasarkan pada nilai persatuan, sehingga
reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia.Reformasi
harus menghindarkan diri dari [raktek-praktek yang mengarah pada disintegrasi
bangsa, upaya separatisme, baik atas dasar kedaerahan, suku, maupun
agama.Reformasi memiliki makna menata kembali kehidupan bangsa dalam bernegara,
sehingga reformasi harus mengarah pada lebih kuatnya persatuan dan kesatuan
bangsa, dan reformasi juga harus senantiasa dijiwai asas kebersamaan sebagai
suatu bangsa Indonesia.
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.Semangat dan jiwa reformasi harus berakar pada asas kerakyatan karena
permasalahan dasar gerakan reformasi adalah pada prinsip kerakyatan.Penataan
kembali secara menyeluruh dalam segala aspek pelaksanaan pemerintahan negara
harus meletakkan kerakyatan sebagai paradigmanya.Rakyat adalah asal mula
kekuasaan negara yang benar-benar bersifat demokratis, artinya rakyatlah
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara.Oleh karena itu, semangat
reformasi menentang segala bentuk penyimpangan demokratis, seperti kediktatoran
(baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung), feodalisme, maupun,
totaliterianisme.Asas kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
menghendaki terwujudnya masyarakat demokratis. Kecenderungan munculnya diktator
mayoritas melalui aksi massa harus diarahkan pada asas kebersamaan hidup rakyat
agar tidak mengarah pada anarkisme. Oleh karena itu, penataan kembali mekanisme
demokrasi seperti pemilihan anggota DPR, MPR, pelaksanaan Pemilu beserta
perangkat perundang-undangan, pada hakikatnya adalah untuk mengembalikan
tatanan negara pada asas demokrasi yang bersumber pada kerakyatan sebagaiman
terkandung dalam sila keempat Pancasila.
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Visi dasar reformasi haruslah jelas,
yaitu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Gerakan
reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali dalam berbagai bidang
kehidupan negara harus bertujuan untuk mewujudkan tujuan bersama sebagai negara
hukum yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.Oleh karena itu,
hendaklah disadari bahwa gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan
penataan kembali pada hakikatnya bukan hanya bertujuan demi perubahan itu
sendiri, melainkan perubahan dan penataan demi kehidupan bersama yang
berkeadilan. Perlindungan terhadap hak asasi, peradilan yang benar-benar bebas
dari kekuasaan, serta legalitas dalam arti hukum harus benar-benar dapat
terwujudkan, sehingga rakyat benar-benar menikmati hak serta kewajibannya
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan hukum terutama aparat pelaksana dan
penegak hukum adalah merupakan target reformasi yang mendesak untuk terciptanya
suatu keadilan dalam kehidupan rakyat.
Dalam
perspektif Pancasila, gerakan reformasi merupakan suatu upaya untuk menata
ulang dengan melakukan perubahan-perubahan sebagai realisasi kedinamisan dan
keterbukaan Pancasila dalam kebijaksanaan dan penyelenggaraan negara.Sebagai
suatu ideologi yang bersifat terbuka dan dinamis, Pancasila harus mampu
mengantisipasi perkembangan zaman, terutama perkembangan dinamika aspirasi
rakyat. Nilai-nilai Pancasila adalah ada pada filsafat hidup bangsa Indonesia,
dan sebagai bangsa, maka akan senantiasa memiliki perkembangan aspirasi sesuai
tuntutan zaman. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sumber nilai, memiliki sifat
yang reformatif, artinya memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu
menyesuaikan dengan dinamika aspirasi rakyat, yang nilai-nilai esensialnya
bersifat tetap, yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan dari makalah ini adalah:
1.
Pancasila dari
segi etimologi adalah lima tingkah laku yang baik. Sedangkan pancasila dari
segi terminologi adalah nama dari 5 dasar negara RI, yang pernah diusulkan
oleh Bung Karno atas petunjuk Mr. Moh. Yamin pada tanggal 1 Juni 1945, yaitu
pada saat bangsa Indonesia sedang menggali apa yang akan dijadikan dasar negara
yang akan didirikan pada waktu itu.
2.
Orde baru
berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah
menyimpang dari Pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa.
3.
Pada masa
reformasi, Pancasila sebagai re-interprestasi, yaitu Pancasila harus selalu di
interprestasikan kembali sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam menginterprestasikannya
harus relevan dan kontekstual. Berarti harus sinkron atau sesuai dengan
kenyataan atau zaman pada saat itu.
4.
Kecenderungan
orde baru dalam memandang Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif terlihat
pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena itu
harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara terpusat. Reformasi
dilakukan ke arah suatu perubahan ke arah kondisi serta keadaan yang lebih
baik, perubahan yang dilakukan dalam reformasi harus mengarah pada suatu kondisi
kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspeknya.
3.2 SARAN
Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya,
jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis
mengharapkan agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan buku-buku lainnya yang
berkaitan dengan judul “Pancasila dalam Konteks Sejarah
perjuangan Bangsa Indonesia Pada Masa Orde Baru Dan Reformasi”.kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah kami. Jadikanlah
makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong mahasiswa berpikir aktif dan
kreatif
DAFTAR PUSTAKA
http://elva-norlianti.blogspot.co.id/2015/02/pancasila-pada-orde-baru-dan-reformasi.html (9 september 2015)
Satoe
bangsa, kita indonesia, 2013, http://pancasila2013.weebly.com/pengertian-pancasila.html (11 september
2015)
Sejarah
Perjungan Bangsa Indonesia , Semarang, 1998 http://danialmalik275.blogspot.co.id/2013/04/sejarah-opengl_25.html