Abad 21 tidak lepas
dari pembahasan mengenai kecanggihan teknologi di era revolusi industri 4.0. Mudahnya
akses jaringan membuat perubahan perilaku terhadap sejumlah masyarakat.
Perubahan perilaku tersebut ditandai dengan perilaku konsumtif (Suryosumunar,
2019) . hal tersebut terjadi karena masyarakat cenderung terbuai oleh
canggihnya teknologi, karena mudah dalam mengakses segala hal, misalnya belanja
pakaian dan perabotan bisa melewati online
shop, ketika lapar bisa menggunakan delivery
food. Kemudahan teknologi ini bahkan lebih dikenal dengan slogannya yaitu
“solusi dalam genggaman”.
Dalam dunia pendidikan keterampilan abad 21 bukan sesuatu yang asing. Banyak pendidik mendefinisikan keterampilan abad 21 sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS). Sebagai seorang guru, kita harus menyiapkan anak didik kita untuk memiliki keterampilan abad ke-21. keterampilan ini biasa dikenal dengan istilah 4C, yaitu communication, critical thinking, collaborative, and creativity.
nahh, kemajuan teknologi sudah mendukung banget nih buat pembelajaran, tapi masih adakah para guru yang menyisipka kearifan lokal dalam proses pembelajaran?
hmm, penting gak sih menyisipkan nilai kearifan lokal dalam proses pembelajaran?
baca terus ya :)
Esensi
nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal memberikan dampak terhadap
pembentukan karakter seorang individu. Sejalan dengan (Wagiran, 2012) menggali nilai-nilai kearifan lokal
merupakan upaya strategis dalam membangun karakter bangsa di era global”.
Indonesia adalah negara yang kaya akan keindahan alam, serta beraneka ragam
budaya dan bahasa. Namun, kecanggihan teknologi membuat semua informasi yang
masuk tak dapat terseleksi degan baik.indonesia seperti kehilanga jati diri.
Budayanya kini tak lagi dipahami oleh rakyatnya sendiri. Karakter “keramahan
orang Indonesia” kini sulit ditemui, karena kini sudah sibuk dengan aktivitas
bersama dunia digital. Sehingga guru harus bekerja lebih ekstra untuk
mengenalkan kebudayaan bangsa kepada “anak” sendiri.
Kreatifitas
guru di dalam kelas bisa saja dikembangkan melalui pendekatan konstruktivisme
berbasis etno (ethnoconstructivism).
Guru bisa menyesuaikan materi pembelajaran dengan lingkungan sekitar yang
dianggap dapat menunjang proses berpikir kritis dan kreativitas siswa siswa.
Sesuai penelitian Asrial, Syahrial,
& Kurniawan, (2019) pengetahuan ethnoconstructivism memiliki dampak yang signifikan dalam
kompetensi pedagogic yang dimiliki oleh seorang guru, seorang guru wajib
memiliki kompetensi pedagogic, dikarenakan kompetensi pedagogic merupakan
kompetensi yang paling dasar yang wajib dimiliki oleh seorang guru. Selain itu
Berkeley (1685-1753) mengatakan bahwa belajar tak lepas dari indera, yang
artinya belajar dari alam berarti melatih indra kemudian menghubungkan hasil
temuan indera, mengelompokkannya menjadi satu kesatuan yang akan memunculkan
pengetahuan yang baru.
Proses
pembelajaran berbantu ethnoconstructivism
sekaligus menjadi jembatan untuk siswa mengenal kearifan lokal yang berada di
lingkungan sekitar mereka, mencari tahu apa yang belum mereka ketahui
sebelumnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat plato bahwa belajar untuk
mencari kebenaran, berupa pengetahuan baru (Ozmon & Craver, 2002). Menuerut Syahrial et al.,
(2019) sikap dan nilai-nilai budaya daerah asal wajib
diketahui oleh siswa, karena dengan mengetahui dan mengintegrasikan
pembelajaran dengan kearifan lokal, dapat mempermudah siswa dalam belajar.
Pembelajaran berbasik kearifan local secara tidak langsung melatih keterampilan
komunikasi untuk bisa mengungkapkan ciri khas budaya yang mereka miliki di
daerah masing-masing, kemudian mengomunikasikan bisa dalam bentuk cerita
rakyat, seni tari bahkan bernarasi dan menunjukkan rumah adat dan senjata khas
daerah, atau bisa saja siswa berkolaborasi menggambarkan keindahan budaya
melalui penyatuan dua budaya berbeda pada proses pembelajaran.
Belajar berbasis ethnoconstructivism ternyata memiliki esensi penting untuk membentuk pemikiran siswa, membangun sedikit pola pikir siswa mengenai pentingnya nilai berbudaya. Selain itu, mencoba mendorong siswa menemukan sendiri ilmu yang terdapat pada permainan tradisional yang beraneka ragam. Contohnya, mengapa gasing dapat berputar? Siswa mengasah keterampilan berpikir kritis dan mengaitkan peristiwa dengan ilmu pengetahuan yang ada seperti peristiwa kecepatan dan percepatan tangensial pada ilmu fisika, mencoba menghitungnya dengan ilmu matematika dan membuat laporan melatih siswa berbahasa dengan baik sesuai kaidah bahasa Indonesia. Hal ini berarti belajar berbasis ethnoconstructivisme dapat meningkatkan keterampilan komunkasi, kolaborasi, berpikir kritis dan kreatif yang merupakan keterampilan abad 21 yang mejadi tuntutan saat ini.
Daftar Pustaka
Asrial, Syahrial, & Kurniawan, D. A. (2019). The Impact
of Etnoconstructivism in Social Affairs on Pedagogic Competencies. International
Journal of Evaluation and Research in Education (IJERE), 3(8),
409–416.
Ozmon, H. A., &
Craver, S. M. (2002). Philosophical Foundations of Education: Seventh
Edition. Virginia: Commonwealth University.
Suryosumunar, J. A. Z. (2019). Perspektif Gilles Deleuze Terhadap Proses Imitasi Dalam Masyarakat Konsumeris Di Era Revolusi Industri 4.0. Waskita: Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter, 3(2), 43-58.
Syahrial, S., Asrial, A., Kurniawan, D. A., Nugroho, P.,
Septiasari, R., Pratama, R. A., & Perdana, R. (2019). Increased Behavior of
Students’ Attitudes to Cultural Values Using the Inquiry Learning Model
Assisted by Ethnoconstructivism. Journal of Educational Science and
Technology (EST), 5(2), 166. https://doi.org/10.26858/est.v5i2.9670
Wagiran. (2012). Pengembangan karakter berbasis kearifan
lokal. Jurnal Pendidikan Karakter, II(3), 329–339.